THANK YOU FOR VISIT MY BLOG

Sunday, October 18, 2009

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN MOLOKU LOLODA

SEBUAH MATA RANTAI SEJARAH YANG TERPUTUS
Oleh ; Mustafa Mansur, SS
Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Maluku Utara
Staf Pengajar Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun Ternate
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

A. Pengantar

Perjalanan waktu yang panjang dari kehidupan manusia di daerah ini hingga keberadaan kita saat ini, cenderung secara alamiah maupun tindakan ketidaksadaran manusia melunturkan fakta-fakta sejarah. Oleh karena itu, kesadaran untuk menguak kembali fakta-fakta historis sebagai landasan berpijak ke depan yang lebih baik adalah tindakan yang sangat bijaksana. Tindakan ini merupakan salah satu makna belajar sejarah, yakni menjadi manusia yang bijaksana dalam berpikir dan bertindak.
Mengacu pada topik di atas, maka makna belajar sejarah dari tulisan ini paling tidak dapat menggugah kesadaran akan nilai-nilai sejarah tanpa harus terjebak pada romantisme masa lalu. Untuk itu bagi generasi Loloda, adalah sesuatu yang tidak berlebihan jika mempelajari sejarahnya sekaligus merekonstruksi nlai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai upaya merancanag bagun masa depan negerinya yang lebih baik.

B. Loloda dalam Kerumunan Politik di Masa Lalu

Perkembangan sejarah Maluku Utara telah memperlihatkan bahwa Loloda merupakan sebuah kawasan dengan komunitas masyarakat yang pada awalnya terbentuk melalui jaringan kekuasaan tradisional. Kondisi ini adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri karena wilayah ini pernah dilegitimasi melalui organisasi politik yang berbentuk kerajaan. Dalam catatan sejarah politik di Maluku Utara, dijelaskan bahwa Kerajaan Loloda merupakan salah satu Kerajaan Maluku yang tidak terkonfigurasi dalam kesatuan Moloku Kie Raha (Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo). Kenyataan ini disebabkan Kerajaan Loloda tidak sempat menghadiri pertemuan Raja-raja Maluku di Pulau Moti (Moti Staten Verbond) pada tahun 1322 yang diprakarsai oleh Raja/Kolano Ternate Sida Arief Malamo.
Tidak dijelaskan secara jelas dalam sumber tertulis kapan Kerajaan Loloda ini terbenuk. Sejarawan Paramita Abdurrahman mencatat bahwa menurut sumber dari Nagara Kartagama Majapahit sebagamana ditulis oleh MPU Prapnca menyebutkan bahwa pada masa paling awal telah berkuasa seorang Kolano di Loloda Halmahera.

Menurut Pemerhati Sejarah lokal Abdul Hamid Hasan dalam bukunya “Aroma Sejarah dan Budaya Ternate” mengungkapkan bahwa secara umum Kerajaan-kerajaan Maluku termasuk Kerajaan Loloda dan Kerajaan Moro berdiri pada abad ke-13. Bahkan disebutkan juga bahwa dua kerajaan ini adalah yang tertua di Halmahera.
Dalam Kroniek Van Het Rijk Batjan (Kronik Kerajaan Bacan) sebagaimana dutulis oleh Coolchaas, dikisahkan bahwa Kerajaan Loloda didirikan oleh Kaicil Komalo Besy, putera Sultan Bacan yang pertama Said Muhammad Baqir Bin Jafar Shadik yang bergelar Sri Maharaja yang bertahta di bukit Sigara dengan perkawinannya dengan Boki Topowo dari Galela.
Menurut cerita masyarakat Loloda mengungkapkan bahwa Kerajaan Loloda didirikan oleh seorang tokoh legendaris yang datang dari Ternate via Galela. Tokoh ini berama Kolano Tolo alias Kolano Usman Malamo. Peristiwa kedatangan Raja Loloda ini berkaitan dngan meletusnya Gunung Tarakani di Galela (cerita lain menyebut Gunung Mamuya) yang kemudian mendorong tokoh ini menyingkir ke Loloda. Dari peristiwa inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal nama Loloda yang dalam bahasa Galela disebut Loda yang berarti pindah atau hijrah. Sebelumnya nama Loloda adalah Jiko Mabirahi.
Dari beberapa versi di atas menunjukkan bahwa keberadaan Loloda dalam sejarah kekuasaan politik di Maluku jelas merupakan suatu keniscayaan sejarah. Sebagai Kerajaan yang tidak mengikuti Persekutuan Moti (Moti Staten Verbond) tahun 1322 sebagaimana disebutkan di atas, maka Kerajaan Loloda pun kemudian tidak terlalu mendominasi panggung sejarah Maluku Utara. Hal ini adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri karena sesungguhnya pengaruh politik Kerajaan Loloda juga tidak teralalu signifikan dalam percaturan politik Kerajaan-kerajaan Maluku ketika itu.
Ketka datangnya bangsa Portogis di Maluku pada abad ke-16, pengaruh Kerajaan Loloda sudah tidak berpengaruh untuk kepentingan Portogis. Dari sejumlah sumber yang ada, hanya mengungkapkan bahwa kepentingan Portogis di Halmahera Utara lebih menonjol pada kawasan Kerajaan Moro yang belakangan terbagi menjadi Moro-Tia dan Moro-Tai (Moro Daratan dan Moro diseberang Lautan). Kondisi ini terekam dari pengaruh Missi Ordo Jesuit Khatolik yang pada akhirnya berhasil membaptis sebagian orang-orang Moro termasuk Raja Moro di Mamuya dengan nama baptisan Don Joao de Mamuya.
Ketika Sultan Baabullah Datu Sjah berhasil mengusir Portogis dari Maluku, Kerajaan Moro kemudian dianeksasi dan digabungkan kedalam wilayah Kesultanan Ternate. Peristiwa ini terjadi pada perempatan terakhir abad ke-16. Dengan demikian maka riwayat Kerajaan Moro pun praktis berakhir. Sementara Kerajaan Loloda masih tetap eksis sebagai salah satu Kerajaan Maluku di Utara Halmahera. Sebagai Kerajaan Maluku yang terletak di Utara Halmahera, Kerajaan Loloda berkedudukan sebagai “Ngara Mabeno” (Dinding Pintu) yang berfungsi sebagai penjaga Pintu dari Utara.


Dalam memori serah terima jabatan Gubernur VOC Maluku dari Robertus Padtgbrugge (1677-1682) kepada penggantinya Gubernur Yacob Loobs (1682-1684), secara jelas telah menyampaikan kedudukan Raja-raja Maluku yakni ; Loloda, Ngara Mabeno (Dinding Pintu), Jailolo, Jiko maklano (Penguasa Teluk), Tidore, Kie Makolano (Penguasa Pegunungan), Ternate, Alam Makolano (Penguasa Maluku) dan Bacan, Dehe Makolano (Penguasa Daerah Ujung). Dari memori ini menunjukan bahwa sampai abad ke-17, Kerajaan Loloda tersebut masih tetap eksis dan berintegrasi sebagai salah satu Kerajaan Maluku sebagaimana halnya Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Bahkan bila dikaji secara objektif, bisa dijelaskan bahwa eksistensi Kerajaan Jailolo-lah yang kemudian berakhir pada abad ini juga yakni pada pada tahun 1684 ketika wafatnya Pangeran Jailolo Kaicil Alam. Perlu juga ditambahkan bahwa sebelum wafat, Kaicil Alam telah ditempatkan sebagai kerabat Kesultanan Ternate karena dinikahi dengan Boki Gamalama adik Sultan Sibori Amsterdam Ternate. Setelah Kacil Alam wafat, maka Jailolo yang sebelumnya berstatus sebagai Kerajaan menurun menjadi Distrik dibawah otoritas Kesultanan Ternate dengan Kepala Distrik atau Hoofh Distrik bergelar Sangaji Jailolo.
Sementara status dan pengaruh politik Kerajaan Loloda baru mengalami degradasi pada Abad ke-18. Kondisi ini bisa dilihat bahwa secara politis, dalam abad ke-18 ini Maluku Utara hanya terbagi kedalam tiga kerajaan yang mempunyai hubungan formal dengan VOC yang berkepentingan mengamankan monopoli remaph-rempah. Ketiga kerajaan tersebut adalah ; Ternate. Tidore dan Bacan. Sdangkan Kerajaan Loloda seakan-akan disetarakan statusnya setingkat Distrik seperti halnya Kerajaan Jailolo yang telah menjadi Distrik sejak abad ke-17. Hal ini bisa dilihat berdasarkan sumber sejarah yang tersediah menjelaskan bahwa dalam abad ke-18 ini terdapat sembilan Distrik di Halmahera Utara yang berada dibawah Kesultanan Ternate, yakni ; (1) Galela (2) Tobelo (3) Kau (4) Loloda (5) Gamkonora (6) Tolofuo (7) Tobaru (8) Sahu dan (9) Jailolo. Juga terdapat satu Distrik di Zazirah selatan yakni Distrik Gane. Dalam sumber ini lebih jelas diungkapkan bahwa Penguasa Loloda tidak pernah menyandang gelar Kepala Distrik atau yang biasa disebut Sangaji, tetapi Penguasa Loloda tetap menggunakan gelar Kolano Loloda. Ini menunjukan bahwa ada upaya Penguasa Loloda untuk mempertahankan integritas Kerajaannya. Sementara di Jailolo, Kepala Distriknya tetap menggunakan gelar Sangaji Jailolo.
Status Jailolo kemudian mengalami kontroversi antara Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore ketika Sultan Nuku sengaja membangkitkan kembali Kerajaan Jailolo pada tahun 1796 dengan mengangkat Jogugu Kesultanan Tidore dengan gelar Muhammad Arif Billa sebagai Sultan Jailolo. Sebelum memangku jabatan Jogugu, Muhammad Arif Billa pernah memangku jabatan Sangaji Tahane Makian sehingga ia sering disebut Jogugu Tahane. Upaya Nuku untuk menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo ini merupakan inspirasi dari cita-cita pendahulunya yakni Sultan Syaifuddin yang pernah berinisiatif untuk menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo sebagai salah satu pilar pranata politik di Maluku. Akan tetapi inisiatif Sultan Sayifudin ketika itu tidak pernah ditanggapi oleh VOC maupun Kesultanan Ternate sebagai patner kepercayaannya.
Keberadaan Kerajaan Jailolo yang dibentuk oleh Nuku dengan mengangkat Muhammad Arif Billa sebagai Sultan Jailolo sesungguhnya menimbulkan kontroversi antara sebagian orang-orang Alifuru yang telah menjadi kawula Kesultanan Ternate dan sebagian lainnya yang menyatakan setia kepada Nuku. Hal ini terjadi karena Muhammad Arif Billa bukan berasal dari keturunan Raja-raja Jailolo. Akan tetapi menurut Nuku, bahwa pengangkatan Muhammad Arif Billa sebagai Sultan Jailolo adalah sah. Dalam satu suratnya kepada Gezaghebber Ternate, Nuku menjelaskan bahwa pengangkatan Raja Jailolo itu didukung tidak saja oleh para Bobato negeri Soa-sio dan negeri-negeri lainnya di Pulau Tidore, tetapi juga oleh para Bobato Halmahera Timur (Maba, Weda, Patani) dan beberapa Bobato di Halmahera Utara termasuk Raja Loloda dan anggota bangsawan Ternate yang melarikan diri ke Tidore.
Dalam uraian Surat Nuku kepada Gesaghebber Ternate di atas, bisa dikatakan bahwa Kerajaan Loloda dalam pandangan Nuku pun masih memiliki kekuasaan atas wilayahnya. Sedangkan fungsi Kesultanan Jailolo yang baru dibentuknya itu pada prinsipnya berada dibawah Nuku dalam mengimbangi hegemoni terhadap Kerajaan-kerajaan Maluku lainnya terutama Ternate. Sementara dimata Kesultanan Ternate, bisa dikatakan bahwa status Jailolo tetap merupakan sebuah Distrik yang berada dibawah otoritasnya.
Eksistensi Kerajaan Jailolo yang dibentuk oleh Nuku di atas ternyata tidak berlangsung lama, Setelah Nuku wafat pada tahun 1805, integritas Kerajaan Jailolo inipun terancam dan mendorong Raja Jailolo Muhammad Arif Billa bersama keluarga dan pengikutnya meningalkan Jailolo. Mereka memburu hutan belantara menuju pedalaman Timur Halmahera dan akhirnya Muhammad Arif Billa tewas akibat terjatuh di sebuah jurang yang sangat berbahaya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1807.
Setelah Muhammad Arif Billa wafat, puteranya Kimalaha Sugi mendeklarasikan dirinya sebagai Sultan Jailolo dihadapan pengikutnya dengan gelar Muhammad Asgar. Ketika Inggris berkuasa di Maluku (1810-1817), Muhammad Asgar tidak diakui sebagai Sultan Jailolo karena ia belum pernah diangkat oleh satu penguasa yang berhak, dan menurut Inggris ia tidak berhak menggunakan gelar Sultan Jailolo. Ia kemudian ditangkap dan di asingkan ke Seram Utara. Dari peristiwa inilah keluarga dan pengikut Muhammad Asgar kemudian mengungsi ke Seram Utara untuk bergabung dengan Muhammad Asgar yang dianggap sebagai Rajanya. Akan tetapi ketika Inggris menyerahkan kembali kekuasaan di Maluku kepada Belanda pada tahun 1817, Muhammad Asgar kemudian diserahkan kepada Belanda. Ketika Muhammad Asgar mengajukan permohonan kepada Panitia pengambil alih kekuasaan dari Inggris kepada Belanda-agar dibebaskan dan diperkenankan untuk kembali memimpin masyarkatnya di Halmahera, ia pun kemudian diasingkan lagi oleh Belanda ke Jepara.
Setelah Muhammad Asgar diasingkan ke Jepara, adiknya Hajudin menyatakan dirinya sebagai Sultan Jailolo terhadap pengikutnya. Ia dan pengikutnya meminta kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakui sebagai Sultan Jailolo. Permintaan itu dilakukan melalui tekanan dan aksi-aksi, akan tetapi upaya mereka tidak pernah ditanggapi oleh pihak Belanda bahkan Hajudin dinyatakan statusnya sebaai buron dan pembangkan.
Pengakuan Pemerintah Hindia Belanda tehadap Kerajaan Jailolo sebagamana yang diupayakan oleh Hajudin dan pengikutnya di atas, baru membuahkan hasil ketika Pitter Merkus menjabat sebagai Gubernur Maluku (1822-1828). Akan tetapi Gubernur Pitter Merkus mengusulkan agar Kerajaan Jailolo yang akan dibentuk berlokasi di suatu koloni wilayah di Seram Pasir bukan di Halmahera. Usulan ini akhirnya diterima oleh Hajudin, namun kedudukan Sultannya diserahkan kepada kakaknya Muhammad Asgar yang berada di Jepara. Berdasarkan permintaan Hajudin tersebut, pada tahun 1825 Pemerintah Hindia Belanda pun mengembalikan Muhammad Asgar ke Ambon dan pada tangal 25 Januari 1826, Muhammad Asgar dilantik sebagai Sultan Jailolo yang akhirnya dikenal dalam sejarah sebagai Kerajaan Jailolo di pengasingan Seram.
Sebagai Kerajaan yang memiliki hubungan politik dengan Belanda, Kerajaan Jailolo di pengasingan Seram inipun praktis berada dbawah kendali Pemerintah Hindia Belanda. Ketika Muhammad Asgar dan pengikutnya membangkan ingin kembali membangun kekuasaannya di Jailolo Halmahera, pada tahun 1830 Pemerintah Hindia pun kemudian melikuidasi Kerajaan Jailolo di Pengasingan Seram ini. Muhammad Asgar dan keluarganya kemudian diasingkan ke Cianjur Jawa Barat. Peristiwa ini menandakan berkahirnya Kerajaan Jailolo babak kedua.
Sementara Status Jailolo di Halmahera tetap merupakan sebuah Distrik dibawah otoritas Kesultanan Ternate dengan Kepaa Distrik bergelar Sangaji Jailolo. Pada tahun 1868, status Distrik Jailolo berubah menjadi Soa/Kampung dengan Kepala Kampung bergelar Fanyira Jailolo.
Belakangan pada tahun 1886, Dano Hasan Baba seorang bangsawan asal Ternate berupaya untuk menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo. Ia meminta kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakuinya sebagai Sultan Jailolo. Akan tetapi permintaannya tidak pernah mendapat respon positif bahkan ia dianggap menjadi pembangkan. Dano Hasan kemudian ditangkap dan diasingkan ke Pulau Muntok Sumatera.
Sementara status Loloda tetap dipandang sebagai sebuah Distrik meskipun Penguasa Loloda tidak pernah menyandang gelar Kepala Distrik atau sangaji tetapi senantiasa memakai titel Kolano Loloda. Dalam Suarat Gezaghebber Ternate tertanggal 8 September 1808 yang memuat laporan tahunan kepada Gubernument, menjelaskan bahwa Kepala Distrik Loloda yang memakai titel Kolano Loloda memiliki perangkat Pemerintahan seperti pada Kerajaan Ternate yakni Bobato Madopolo yang lengkap yang terdiri dari Jogugu, Kapita Laut, Hakim sampai pada Sowohi dan Jabatan-jabatan dibawah lainya. Kenyataan ini menunjukan bahwa pada abad ke-19 ini, Kerajaan Loloda masih tetap eksis, hanya saja peranan politiknya tidak bisa mengimbangi kekuatan politik Kerajaan Ternate, Tidore dan Bacan. Bahkan Loloda seakan-akan berada dibawah Kesultanan Ternate dalam membangun hubungan politik dan ekonomi dengan Belanda.
Dalam Silsilah Raja-raja Loloda maupun sumber-sumber lisan masyarakat Loloda, mengungkapkan bahwa Kerajaan Loloda baru brakhir pada awal abad ke-20 yakni pada tahun 1908. Dalam sejarah masyarakat Loloda, tahun 1908 dikenang dengan sebutan Kolano Madodogu (Masa Raja terakhir). Peristiwa ini berkaitan dengan pergolakan politik di internal kerajaan dan pengaruh kebijakan Pemerintah Hindia Belanda terhadap pembayaran Balasting (Pajak Diri). Diungkapkan dalam kisah ini bahwa ketika wafatnya Kolano Sunia dalam bilangan awal abad ke-20 ini, terjadi perebutan Tahta Kolano Loloda oleh empat orang Kaicil (Jongofa) yakni Jongofa Arafane, Jongofa Syamsudin, Jongofa Nasu dimana ketiganya merupakan putera dari Kolano Sunia dan Jongofa Koyoa yang merupakan putera dari Kapita Lau Dumba. Dalam perebutan ini, Jongofa Syamsuddin berhasil menduduki Tahta Kolano Loloda atas keinginan para Bobato dan pertimbangan Kesultanan Ternate maupun Belanda. Sementara Jongofa Arafane direstui sebagai Kapita Lau, Jongofa Nasu diberi penghormatan sebagai Kapita Lau Majojo (Kapita Lau Muda). Sementara Kayoa hanya berhak menyandang gelar Jongofa atau Kaicil. Karena tidak merasa puas dengan kedudukannya, Koyoa pun kemudian memutuskan untuk tidak bergabung dengan keluarga Istana. Ketika dilakukan penagihan Balasting oleh pegawai utusan Belanda di Loloda, Kayoa mengajukan protes terhadap Kolano Syamsuddin karena dianggap tidak bijaksana menjadi seorang Kolano. Ia membiarkan pihak Belanda memungut pajak secara semena-mena terhadap rakyat. Menurut Kayoa, pembayaran Balasting atau pajak mesti diserahkan oleh rakyat kepada pihak kerajaan bukan kepada Belanda.
Aksi Kayoa ini diekspresikan dengan memprovokasi warga untuk menjatuhkan kewibawaan Kolano Syamsuddin. Ketika utusan/mantri Pajak Belanda sedang berada di dalam Keraton Loloda, seorang Kapita dari Soa Laba yang bernama Sikuru dengan dua rekannya Bagina dan Tasa dari Soa Bakun mendatangi Keraton sambil membunuh Mantri Pajak Belanda tersebut di hadapan Kolano Syamsuddin dan Joboki Habiba sebagai bentuk protes terhadap Kolano Syamsuddin. Kapita Sikuru, Bagina dan Tasa adalah pesuruh Kaicil Kayoa.
Akibat pembunhan terhadap Mantri Pajak Belanda di atas, menimbulkan amarah pihak Belanda karena dianggap menentang kebijakan Pemerintah Hindia. Belanda pun kemudian mendatangkan aparat keamanannya untuk meredah aksi yang dilakukan oleh tiga warga Loloda tersebut. Akan tetapi kedatangan aparat Belanda di Loloda tersebut sempat dihadang oleh Kapita Sikuru dari Soa Laba dan sekelompok masyarakat yang telah disiapkan oleh Kaicil Kayoa. Perlawanan ini oleh masyarakat Loloda dikenang sebagai peristiwa Perang Laba (Rogu Laba) tahun 1908.
Perlawanan terhadap Belanda tersebut, mengakibatkan Kolano Syamsuddin diminta untuk mempertanggungjawabakan aksi warganya. Ia kemudia dibawah ke Ternate bersama Permaisurinya Joboki Habiba dan anak-anaknya. Karena tidak dapat mempertanggung jawabkan aksi yang dilakukan oleh warganya, Kolano Syamsuddin pun kemudian tidak diperkenankan kembali ke Loloda. Ia sempat dibawah ke Jawa dan baru diperkenankan kembali ke Ternate pada tahun 1915. Sementara Permaisurinya dan anak-anaknya tetap berada di Ternate. Joboki Habiba wafat pada tahun 1912 dan Kolano Syamsuddin wafat pada tahun 1915. Keadaan ini menggambarkan bahwa Kolano Syamsudin wafat setelah dikembalikan oleh Belanda dari pengasingan di Pulau Jawa.
Sementara di Jailolo, pemberontakan serupa baru terjadi pada tahun 1914 yang dipelopori oleh Kapita Banau. Atas pemberontakan tersebut, Kontrollir Belanda Aggerbek tewas terbunuh.
Sebagai akibat dari pemberontakan yang dilakukan oleh warga Jailolo tersebut di atas yang telah menjadi kawula Kesultanan Ternate mengakibatkan Sultan Ternate Muhammad Usman Sjah dituduh oleh Belanda terlibat dalam pemberontakannya. Atas tuduhan itu, maka melalui Keputusan (Besluit) Gubernument no. 47 tertanggal 23 September 1915, Sultan Muhammad Usman kemudian dinyatakan diberhentikannya sebagai Sultan Ternate. Ia dan putera tertuanya diasingkan ke Bandung dan baru diperkenankan kembali ke Ternate pada tahun 1933. Semasa dalam pengasingannya, Pemerintahan Kesultanan Ternate dijalankan oleh para Bobato. Hal ini berdasarkan Besluit Pemerintah Hindia Belanda no. 7 tangal 10 Mei 1916.
Setelah diasingkannya Kolano Syamsuddin sejak tahun 1908 ketika terjadi pergolakan di Loloda, maka mulai saat itulah Kerajaan Loloda pun berakhir. Loloda pun kemudian menjadi wilayah otoritas penuh dibawah Kesultanan Ternate, meskipun pada masa sebelumnya Loloda sudah merupakan bagian dari Kerajaan Ternate dalam membangun hubungan politik dan ekonomi dengan Belanda.
Berdasarkan sumber-sumber dari masyarakat Loloda, bahwa setelah berakhirnya kekuasaan Kolano Syamsuddin atas negeri Loloda, Pemerintahan di Loloda kemudian disesuaikan dengan menggunakan gelar Sangaji. Hal ini berbeda dengan masa sebelumnya, yakni Penguasa Loloda senantiasa memakai titel Kolano Loloda. Dijelaskan lebih lanjut bahwa para sangaji Loloda adalah orang-orang luar yang ditempatkan oleh pihak Kesultanan Ternate.
Belakangan pada tahun 1930, status Distrik Loloda dibagi menjadi empat Onder Distrik dengan Kepala Onderf Distrik (Hoof Onder Distrik) disebut Hamente (terkadang disebut Kepala Mente), yakni (1) Onder Distrik Soa-sio yang mencakup wilayah Loloda bagian Selatan dengan Kepala Onder Distrik atau Hamente dipegang oleh Kaicil Djami Bin Syamsuddin (Putera Kedua Kolano Syamsuddin). (2) Onder Distrik Baja yang mencakup wilayah Loloda bagian Tengah dengan kepala Onder Distrik atau Hamente dipegang oleh Kaicil Puasa (Putera Kapita Lau Arafane), (3) Onder Distrik Dama untuk wilayah Loloda bagian Kepulauan dengan Kepala Onder Distrik atau Hamente dipegang oleh Hammanur, dan (5) Onder Distrik Dorume untuk Loloda bagian Utara. Hal ini berdasarkan Zelf Bestuur Releging Pemerintah Hindia Belanda tahun 1930 yang tetap membagi Pemerintahan Maluku Utara kedalam tiga Swapraja Kesultanan yakni Swaparaja Kesultanan Ternate, Tidore dan Bacan. Tiap Swaparaja Kesultanan dibagi kedalam beberapa Distrik dan Distrik membawahi beberapa Onder Distrik.

C. Status Kerajaan Loloda setelah Kemerdekaan Indonesia.

Pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, Pemerintahan Maluku Utara masih menerapkan pola Pemerintahan sebelumnya yakni kolaborasi antara pola Pemerintahan ala kerajaan dan pola Pemerintahan Hindia Belanda. Pada fase ini daerah Maluku Utara masih berbentuk Keresidenan. Sedangkan pada tingkat bawah dinamakan Distrik dengan Kepala Distrik disebut Sangaji. Sementara Onder Distrik sudah tidak diberlakukan. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1960 saat perubahan nomenklatur dari nama Keresidenan menjadi Kabupaten dan Distrik berubah menjadi Kecamatan. Salah satu ciri yang membedakan dengan masa sebelum kemerdekaan adalah Kepala Keresidenan atau Residen pada masa setelah kemerdekaan ini dijabat oleh Sultan. Adapun nama-nama Residen Maluku utara dimaksud adalah :

1. Residen Iskandar Muhammad Djabir Sjah (Sultan Ternate) 1945-1954
2. Residen Zainal Abidin Sjah (Sultan Tidore) 1954-1956
3. Residen Dede Muksin Usman Sjah (Sultan Bacan) 1956-1960

Berkenaan dengan pola Pemerintahan di atas, maka pengangkatan dan penempatan para Kepala Distrik atau sangaji masih menjadi kewenangan Sultan yang juga sebagai Kepala Daerah atau Residen, tidak terkecuali bagi Distrik Loloda.
Status Loloda sebagai Distrik merupakan konsekwensi dari sistem penyetaraan status Kerajaan Loloda setingkat Distrik sejak abad ke-18 meskipun Kepala Distrik Loloda (Hoofh Distrik) senantiasa memakai titel Kolano Loloda. Akan tetapi satu hal yang berbeda setelah kemerdekaan Indonesia ini adalah terdapat kedudukan Sangaji Loloda dan juga ada kedudukan Jogugu Loloda. Sangaji Loloda ditempatkan oleh Residen Maluku Utara saat itu yang juga selaku Sultan Ternate untuk menjalankan Pemerintahan Distrik. Sedangkan Jogugu Loloda dikukuhkan oleh Kesultanan Ternate sebagai Pewaris dan Pengemban Kerajaan Loloda. Adapun Jogugu Loloda pada masa itu adalah Kaicil atau Jongofa Djami Bin Syamsuddin, putera kedua Kolano Syamsuddin (Raja Loloda terakhir).
Dalam kedudukannya sebagai Jogugu Loloda yang dikukuhkan oleh Kesultanan Ternate, keberadaannya dalam masyarakat Loloda, ia diangap sebagai Kolano. Hal ini dilakukan karena kebiasaan masyarkat Loloda yang mengangap seorang Jongofa (Putera Mahkota) adalah pewaris Tahta Kolano sebagaimana yang melekat pada Jongofa Hi. Djami Bin Syamsuddin. Oleh masyarakat Loloda ketika itu, ia mendapat penghormatan sebagaimana layaknya seorang Kolano. Ia tidak disebut sebagai Jogugu melainkan Jou Kolano. Realitas ini menunjukkan bahwa ketika Kerajaan Loloda disetarakan setingkat Distrik oleh Belanda dan Kesultanan Ternate pada abad ke-18, Penguasa Loloda tidak pernah menyandang gelar Kepala Distrik atau sangaji tetapi seantiasa menggunakan titel Kolano Loloda.
Ketika menjalankan fungsi dan perannya sebagai Jogugu yang juga diangap sebagai Kolano Loloda saat itu, ia dibantu oleh beberapa perangkat Bobato seperti kapita Lau yang disandang oleh Jongofa Syahjuan (Putera Kapita Lau Majojo, Nasu), Johukum Soa-sio yang disandang oleh Jongofa Nanggu (Putera sulung Kolano Syamsuddin) dan Imam Loloda, Umar Bin Malan. Sementara adiknya, Djama hanya memakai titel Jongofa (Putera bungsu Kolano Syamsuddin). Perangkat-perangkat Bobato ini memiliki kesamaan pada abad ke-18. Hal ini bisa dilihat dari uraian Surat Gezaghebber Ternate tertangal 8 September 1808 sebagaimana disebutkan di atas.
Meskipun fungsi Jogugu yang juga dianggap sebagai Kolano di atas terbatas pada masalah-masalah Pemerintahan, akan tetapi status sosialnya sangat berpengaruh terhadap masyarakat. Bahkan pengaruhnya lebih mendominasi peran Sangaji Loloda saat itu. Akan tetapi ketika ia wafat, maka kedudukan Jogugu atau Kolano Loloda ini pun praktis vakum. Tiga puteranya, masing-masing Jongofa Abd. Malik, Jongofa Maulud dan Jongofa Haibu pun tidak dapat mengambil fungsi dan peran Jogugu/Kolano Loloda di atas. Hal ini karena tidak ada inisiatif baik dari masyarakat Loloda maupun Kesultanan Ternate. Jogugu/Kolano Loloda ini wafat pada tahun 1977 di Ternate, tanah asal Ibunya dan dimakamkan dipekuburan keluarga Klan Jiko Ternate. Ibunya Joboki Habiba berasal dari Soa Moti Kasturian Kesultanan Ternate.

D. Status Kerajaan Loloda setelah Reformasi 1998

Sebagaiman telah dikemukakan sebelumnya bahwa setelah kemerekaan Indonesia, status dan struktur Kelembagaan Adat Kerajaan Moloku Loloda ini kemudian mengalami reduksi dari kepemimpinan Raja/Kolano menjadi setingkat Jogugu. Kondisi ini terjadi karena pengaruh Kesultanan Ternate yang mendominasi system politik local ketika itu. Jogugu Kerajaan Moloku Loloda tersebut diangkat oleh Kesultanan Ternate dari Putera Mahkota Kolano Loloda, Kaicil Hi. Djamilullah Bin Syamsuddin. Gelar Jogugu bisa disamakan dengan Mangkubumi. Dalam meniatur Negara, Jogugu atau Mangkubumi disamakan dengan Jabatan Perdana Menteri. Dengan demikian, bisa diungkapkan bahwa setelah kemerdekaan Indonesia, Jogugu Loloda memegang peranan utama dalam kepemimpinan Lembaga Adat Kerajaan Moloku Loloda. Dalam menjalankan fungsinya, Jogugu Kerajaan Moloku Loloda didampingi oleh perangkat utamanya seperti Kapita Lau, Hukum Soa-sio, Tuli Lamo dan Sowohi. Kapita Lau dapat disamakan dengan Panglima Armada Laut. Hukum Soa-sio adalah Menteri Urusan Dalam Negeri, Tuli Lamo sebagai Sekretaris dan Sowohi berfungsi sebagai Humas dan Protokoler.
Lembaga Adat Kerajaan Moloku Loloda dengan kepemimpinan Jogugu ini senantiasa eksis dizamannya hingga Jogugu tersebut wafat pada tahun 1977. Sejak saat itu Lembaga ini mulai vakum selama 31 tahun, dan baru pada tahun 1999 dibangkitkan kembali atas insiatif Kesultanan Ternate dengan mengangkat Kaicil (Pangeran) Bayan A. Syamsuddin sebagai Jogugu Kerajaan Moloku Loloda beserta perangkat Bobatonya. Akan tetapi pada tahun 2004 lalu, Jogugu Bayan A. Syamsuddin ini pun tutup usia, dan kelembagaan Adat Kerajaan Moloku Loloda dengan perangkat Bobato seperti Kapita Lau dan Hukum Soasio terkesan berjalan ditempat karena pengaruh usia yang telah lanjut.
Untuk mengisi kekosongan kedudukan Jogugu Kerajaan Moloku tersebut, maka sesuai Adat Se-Atorang (hukum adat Loloda), telah dinobatkan Kaicil (Pangeran) Lutfi M. Syamsuddin. A.Ptnh sebagai Jogugu Kerajaan Moloku Loloda. Penobatannya dilaksanakan dalam suatu Upacara Kebesaran Adat Loloda pada tanggal 30 Oktober 2008 di Keraton Kesultann Ternate.
Status dan keberadaan Jogugu Loloda bersama Bobatonya di atas pada prinsipnya memiliki ciri yang tidak berbedah jauh pada Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Hal ini bisa dilihat dari kedudukan Tau raha (Komisi 4) pada Kesultanan-kesultanan di atas sebagai berikut :

KesultananTernate:
1. Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Hukum Soa-sio
4. Hukum Sangaji
Kesultanan Tidore:
1 .Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Kapita Kie
4. Hukum Soa-sio
Kesultanan Bacan:
1. Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Qadhie
4. Kapita Ngoga
Kesultanan Jailolo:
1. Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Kapita Lau
4. Qadhie
Sumber : Mudafar Sjah, 2005.

Berdasarkan kedudukan Tau Raha pada masing-masing Kesultanan di atas, maka di Loloda juga terdapat kedudukan Tau Raha (Komisi Ngaruga) yakni ; Kapita Kie. Hukum Soasio, Hukum Bakun Malamo dan Sowohi. Jogugu tidak masuk dalam Tau Raha, karena Jogugu meaksanakan fungsi Kolano Loloda. Dengan demikian, maka Jogugu Loloda adalah Pewaris sekaligus Pengemban Kolano Kerajaan Moloku Loloda adalah merupakan suatu keniscayaan sejarah.

E. Penutup

Meskipun memiliki akses yang terbatas dalam kanca politik lokal, realitas sejarah juga telah menunjukkan bahwa kerajaan Loloda senantiasa eksis pada zamannya, dan cukup memberikan perkembangan khas tersendiri dalam pembentukan masyarakat dan budayanya. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari penegasan identitas lokal masyarakat Adat Loloda.
Masyarakat Adat Loloda adalah bagian integral dari masyarakat Indonesia yang hidup berdasarkan asal-usul leluhurnya secara turun-temurun dalam suatu wilayah adat, dimana kehidupan sosial budayanya tidak terlepas dari pengaruh hukum adat dan lembaga adat. Adapun lembaga adatnya di-integrasikan kedalam satuan pemerintahan kerajaan. Kenyataan ini berlangsung hingga saat ini, dimana Kepemimpinan (Dada Madopo) Kerajaan dipegang oleh Jogugu sebagai Pewaris dan Pengemban Kolano Kerajaan Moloku Loloda.

2 comments:

Anonymous said...

Your blog keeps getting better and better! Your older articles are not as good as newer ones you have a lot more creativity and originality now keep it up!

Anonymous said...

After getting more than 10000 visitors/day to my website I thought your darius-arkwright.blogspot.com website also need unstoppable flow of traffic...

Use this BRAND NEW software and get all the traffic for your website you will ever need ...

= = > > http://get-massive-autopilot-traffic.com

In testing phase it generated 867,981 visitors and $540,340.

Then another $86,299.13 in 90 days to be exact. That's $958.88 a
day!!

And all it took was 10 minutes to set up and run.

But how does it work??

You just configure the system, click the mouse button a few
times, activate the software, copy and paste a few links and
you're done!!

Click the link BELOW as you're about to witness a software that
could be a MAJOR turning point to your success.

= = > > http://get-massive-autopilot-traffic.com