Jepang telah membangun
pertahanan di Halmahera. Pusat pemerintahan, pusat komando angkatan laut, darat
dan udara Jepang terdapat di Ternate dengan wilayah Kao, Wasilei, Tobelo,
Galela, Bacan, dan Morotai sebagai pusat pertahanan terhadap Sekutu. Di Kao
dibangun sebuah lapangan terbang dengan dua landasan, dan terletak di timur
laut Halmahera. Lapangan terbang yang lainnya terdapat di Wasilei, Meti
(Tobelo), Galela dan Bacan. Pembangunan lapangan terbang tersebut dengan
menggunakan tenaga kerja paksa (romusha) rakyat Indonesia. Lubang
pertahanan terletak di pinggir pantai desa Kusu kecamatan Kao, sehingga memudahkan
dalam menyerang musuh yang datang dari arah laut. Sekutu menyerang Kao pada
tanggal 21 Agustus sampai 7 Desember 1944. Penyerangan dilakukan dengan
pesawat B-25, B-24, P-47, A-20dan P-38 yang menyerang lapangan terbang Kao dan kota
Kao (www.PacificWreck.com;Morotai). Penyerangan teluk Kao oleh
Sekutu dilakukan dari tanggal 11 Agustus 1944 sampai 26 Oktober 1944 dengan
menggunakan pesawat B-25, P-38, P-40, dan A-20. Sasaran penyerangan ke teluk
Kao berupa pelabuhan angkatan laut Jepang dan kapal perang Jepang. Beberapa
kapal perang Jepang dapat dihancurkan pihak Sekutu, bahkan sampai sekarang
masih tersisa 2 buah di pantai Kao dan 1 buah di pantai Sosol, Malifut. Tentara
Jepang di Malifut yang terdesak masuk ke lubang perlindungan yang berupa lorong
yang sempit dan panjang di perbukitan.
Jepang
mendarat di Morotai pada tahun 1942. Tentara Jepang terdiri dari satu batalyon
yang kemudian mereka membangun lapangan terbang (yang sekarang merupakan lokasi
transmigrasi SP 2, dan karenanya di lokasi tersebut sudah menjadi lahan
persawahan). Kemudian lapangan kedua dibangun di Morotai Selatan yang sekarang
merupakan Dusun MTQ dan lokasi tersebut telah dibangun gedung pertemuan, gedung
sekolah dan perumahan. Pada proses pembuatan lapangan terbang tersebut menurut
informasi yag di dapat dari tokoh masyarakat yang mengalami zaman Jepang, bahwa
dalam pengerjaannya menggunakan tenaga rakyat sebagai romusha untuk
dipekerjakan di lokasi pembuatan lapangan terbang. Romusha terdiri dari
penduduk kampung setempat dan sekitarnya. Pekerjaan awal adalah memotong pohon
kelapa dan pohon-pohon yang ada di lokasi, dengan cara yang tradisional yaitu
dengan tenaga manusia. Lokasi lapangan terbang merupakan kebun kelapa milik
penduduk. Akan tetapi lapangan terbang di Dusun MTQ ini belum terselesaikan dan
belum didarati pesawat karena pada saat itu Sekutu dengan pasukan dan
pesawat-pesawat yang jumlahnya banyak. Atas kedatangan tentara Sekutu inilah
maka tentara Jepang melarikan diri, sembunyi di daerah di hutan.
Di
Dusun Gotalamo tentara Jepang terdiri dari satu batalyon akan tetapi karena
lemahnya pertahanan mereka sembunyi ke hutan. Dusun Gotalamo, oleh Jepang
dijadikan sebagai markas. Di dusun ini juga, pasukan Amerika dan Sekutunya juga
pernah membangun lapangan terbang darurat dengan bahan landasan pacu terbuat
dari besi. Di Morotai, Jepang tidak
mendirikan bangunan untuk pertahanan, gedung dan lain-lain. Agar tidak
diketahui oleh Sekutu Jepang membuang alat-alat perang dan pesawat-pesawat ke
pantai atau ditanam di dalam tanah.
Pada saat ini benda-benda yang berujud
alat-alat perang, pesawat yang dulu dibawa Jepang, kini sudah tidak ada,
bahkan bekas-bekasnya sekaligus (oleh penduduk sudah dijual dan untuk
bangkai pesawat dijadikan kerajinan besi putih).
Pada
saat ini peninggalan Jepang yang masih tersisa berupa tank yang terdapat di
lokasi perkebunan penduduk di Dusun Gotalamo. Peninggalan yang lain yaitu
tempat persembunyian Nakamura di daerah Pilowo. Gua persembunyian Nakamura
terletak di tebing pinggir sungai masuk ke dalam hutan. Nakamura adalah tentara
Jepang yang bersembunyi di hutan dan baru ditemukan pada tahun 1973 oleh
pejabat Kecamatan Morotai, Fungsionaris Kedutaan Jepang dan dibantu oleh
pasukan Angkatan Udara di Morotai serta atas petunjuk penduduk di sekitar
hutan. Nakamura dibujuk dengan lagu-lagu rakyat Jepang melalui pengeras suara
dan bendera Jepang. Nakamura pada saat itu masih memiliki senapan organik yang
masih berfungsi baik dan 5 butir amunisi. Sebelum Nakamura, beberapa tahun
sebelumnya terdapat 9 tentara Jepang yang lari ke hutan dan hidup bercocok
tanam dan bahkan mempunyai peternakan babi.
Sementara
peninggalan Jepang di Kao dan Malifut banyak dijumpai gua-gua tempat
persembunyian dan penyimpanan senjata dan bahan makanan yang biasanya dibangun
di daerah perbukitan. Sementara di sepanjang pantai terdapat lofra yaitu
berupa bangunan yang dibuat dari beton dengan macamnya ada 2. Pertama
ditempatkan di bibir pantai atau tidak jauh dari pantai dengan lubang ventilasi
sebagai lubang untuk mengawasi musuh dan lubang tempat senjata untuk menembak
musuh yang datang mendekat. Kedua adalah lofra yang dibangun di pinggir
pantai sebagai tempat persembunyian/pertahanan.
Pada 8 Desember 1941, pesawat
terbang dikomandoi oleh Laksamana Madya Chuichi Nagumo melaksanakan serangan
kejutan terhadap Pearl Harbor, pangkalan angkatan laut AS terbesar di Pasifik.
Penyerangan ini merupakan pengalaman pahit bagi Amerika dan Sekutunya. Sejak
saat itu AS mengumumkan perang melawan Jepang. atas kesuksesan penyerangan di
Pearl Harbor inilah merupakan langkah awal Jepang untuk menguasai Asia. Saat itu Jepang menggunakan 360 pesawat pembom dan pemburu
untuk memporakporandakan pangkalan militer itu. Serangan itu menenggelamkan dan
merusak hebat 8 kapal tempur Angkatan Laut Amerika. Sejak saat itu lenyaplah
superioritas armada Sekutu Inggris-Amerika di semua samudra, kecuali di Samudra
Atlantik. Atas suksesnya serangan itu maka terbuka lebar Filiphina, Malaya,
Indonesia, Australia, New Zeland bagi serangan Jepang. Bersamaam dengan
serangan terhadap Pearl Harbor tersebut, Jepang juga menyerang pangkalan udara
AS di Filiphina. Setelah serangan ini, Jepang menginvasi Filiphina, Hongkong
yang merupakan koloni Inggris, Malaya, Borneo dan Birma dengan maksud menguasai
ladang minyak Hindia Belanda. Seluruh wilayah ini, dan lebih luas lagi, jatuh
ke tangan Jepang dalam waktu hitungan bulan saja. Markas britania Raya di
Singapura juga dikuasai. Penguasaan ini oleh Churchil dianggap sebagai salah
satu kekalahan yang memalukan.
Menyusul Deklarasi PBB pada tanggal 1 Januari
1942, secara resmi
pemerintah Sekutu
menunjuk Wavell. Pembentukan ABDACOM berarti Wavell memiliki kendali seremonial
atas angkatan yang besar namun kurang tersebar, yang meliputi wilayah dari Burma di barat, Nugini Belanda
dan Filipina
di timur. Daerah lain, termasuk India Britania dan Hawaii tetap secara
resmi di bawah komando terpisah, dan pada prakteknya Jenderal Douglas MacArthur
memegang kendali penuh angkatan Sekutu di Filipina. Atas keinginan Wavell,
separuh barat Australia Utara ditambahkan ke area ABDA. Australia lainnya
berada di bawah kendali Australia, begitupun Wilayah Nugini. Wavell tiba
di Singapura,
di mana British Far East Command
bermarkas, pada tanggal 7 Januari 1942.
ABDACOM menyerap komando Britania ini secara keseluruhan. Pada tanggal 15 Januari,
Wavell memindahkan markasnya ke Bandung
di Jawa
dan memegang kendali operasi Sekutu. Keberhasilan penting pertama angkatan itu
di bawah ABDACOM adalah serangan US Navy atas Balikpapan, Borneo pada tanggal 24 Januari,
yang merusak 6 kapal pengangkut Jepang, namun tak banyak berpengaruh pada
mereka yang mencaplok ladang minyak berharga di Borneo. Pemerintah Australia, Belanda
dan Selandia Baru
melobi Winston Churchill untuk dewan perang
antarpemerintahan Sekutu, dengan tanggung jawab penuh untuk usaha perang Sekutu
di Asia
dan Pasifik, bermarkas di Washington D.C.. Sebuah Far Eastern Council (kemudian dikenal
sebagai Pacific War Council) didirikan di London pada tanggal 9 Februari,
dengan dewan staf yang berkorespondensi di Washington. Namun, kuasa-kuasa yang
lebih kecil terus mendorong badan yang bermarkas di AS. Dalam pada itu,
kejatuhan yang cepat atas pertahanan Sekutu pada serangan Jepang di Malaya,
Singapura, Hindia-Belanda, Filipina, dan negeri lain segera membanjiri
Rintangan Melayu. Jatuhnya Singapura pada tanggal 15 Februari
melepaskan komando ABDA, yang dibubarkan beberapa minggu kemudian.
Serangan Jepang, 23 Desember
1941 – 21 Februari
1943. Wavell mundur sebagai komandan tinggi pada tanggal 25 Februari
1942, mengalihkan kendali
Area ABDA ke komandan lokal. Ia juga merekomendasikan pendirian 2 komando Sekutu
untuk menggantikan ABDACOM: sebuah komando Pasifik Barat Daya, dan komando
bermarkas di India. Untuk menanggulanginya, Wavell telah memegang kendali Burma
kepada British India Command dan
menduduki kembali jabatannya yang dahulu, sebagai Panglima Tertinggi India. Menyusul
penghancuran AL ABDA utama di bawah Laksamana Muda Karel Doorman,
dalam Pertempuran Laut Jawa, antara bulan Februari-Maret 1942, ABDA secara
efektif berhenti melakukan serangan. Karena Jepang mendekati angkatan Sekutu
yang tersisa di Filipina, MacArthur diperintahkan pindah ke Australia. Pada
tanggal 17 Maret,
pemerintah AS mengangkatnya sebagai Komandan Sekutu Tertinggi di Daerah Pasifik Barat Daya,
komando yang memasukkan Australia dan Nugini di samping
daerah yang dipegang Jepang. Sisa area geografis Teater Operasi Pasifik
tetap di bawah komando Daerah Samudera Pasifik,
dipimpin oleh Laksamana Tinggi Chester Nimitz dari US Navy.
Dewan Perang Pasifik yang
bersifat antarpemerintahan didirikan di Washington pada tanggal 1 April,
namun masih tak berguna karena dominasi angkatan AS di Asia dan Pasifik
sepanjang perang. Memasuki tahun 1943, AS mulai melancarkan
ofensif balik. Dimulai dari Papua Niugini yang dikuasai Jepang. Laksamana
Yamamoto awal April, memerintahkan serangan udara besar terhadap posisi Amerika
di Kepulauan Solomon. Namun gagal, karena pilot Amerika lebih unggul. Yamamoto
sendiri tewas, setelah pesawatnya disergap penempur P-38 Lightning, 18
April. Jepang kehilangan ahli strateginya yang paling ulung. Kekalahan demi
kekalahan dialami Jepang di Pasifik. Misalnya pertempuran di sekitar Kepulauan
Marshall. Dalam dua hari, Jepang kehilangan 270 pesawat. Hanya dua kapal induk
veteran Jepang yang masih operasional : Shokaku dan Zuikaku,
ditambah kapal induk baru Taiho. Atas dasar pertemuan kekuatan
dengan Sekutu di atas maka penguasaan oleh Jepang atas Indonesia semakin
diperkuat dengan semboyan 3 A. Maluku Utara sebagai wilayah Indonesia tak lepas
dari penguasaan oleh Jepang. Dengan pusat pemerintahan di Ternate, pasukan
Jepang juga ditempatkan pada pelosok-pelosok di wilayah Halmahera. Ditambah
lagi bahwa Jepang telah memperhitungkan lokasi Maluku Utara yang berbatasan
langsung dengan Filiphina dan Samudra Pasific dimana pasukan Sekutu telah
membangun pangkalan militernya di Kepulauan Pasific tersebut. Dengan banyak
mendirikan pertahanan-pertahanan untuk menghadapi Sekutu, Jepang juga
menempatkan kapal perangnya di wilayah Halmahera terutama Halmahera Timur dan
Halmahera Utara. Maluku Utara, terutama Kao,
Malifut dan Morotai yang memang berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik tak
lepas dari invasi Jepang. Walaupun di daerah ini bukan merupakan sumber minyak,
namun letak kepulauan ini yang menjadi faktor pendukung untuk mengawasi Sekutu.
Di kepulauan inilah akhirnya Jepang berhadapan langsung dengan Sekutu yang juga
telah memilih Morotai sebagai pangkalan militernya. Setelah Hollandia
direbut, MacArthur mengundang Van Mook membahas masa depan Hindia Belanda.
Undangan tersebut tentu disambut antusias oleh Belanda, Belanda berharap bahwa
pasukan Sekutu merebut seantero Hindia Belanda, namun tidak disetujui.
MacArthur hanya memerlukan pinggiran Hindia Belanda untuk merebut Filipina dan
kemudian Jepang. Daerah yang dimaksud adalah pulau Morotai dan bagian timur
Kalimantan, pasukan Belanda diajak merebutnya. Bagi Amerika Serikat dan
sekutunya, Pulau Morotai memiliki arti sangat penting. Pulau ini merupakan
pulau terluar di Maluku Utara dan berbatasan langsung dengan samudra Pasifik.
Pulau Morotai merupakan tempat strategis untuk melancarkan serangan balasan
yang menentukan terhadap Jepang di Filiphina dan Korea. Di pulau inilah Sekutu
menjadikan markas dan konsolidasi ratusan ribu pasukannya baik darat, laut dan udara. Pulau ini juga
telah dipilih Panglima Divisi VII AS Jenderal Douglas MacArthur untuk
membuktikan ucapannya ketika akan melarikan diri ke Australia,“I shall return”.
Pada tanggal 15
September 1944 tentara Sekutu mendarat di Morotai. Raungan ratusan pesawat
terbang Sekutu memecah kesunyian malam pada bulan September itu. Raungan yang
menggelegar angkasa Morotai saat itu dirasakan penduduk bagaikan hendak kiamat.
Mereka tidak menduga akan datangnya ratusan pesawat dan dengan rasa takut,
terkejut dan terheran-heran menyaksikan pemandangan yang spektakuler tersebut.
Pada saat yang bersamaan ratusan kapal perang melakukan pendaratan laut pertama
di Tanjung Dehegila Morotai Selatan. Sejak saat itu, Morotai dijadikan markas
militer Sekutu. Pasukan dari kapal perang menyiapkan landasan pacu darurat
berupa 12 landasan yang dipasangi air strip (pelat besi berlubang ukuran 1,5 x
0,5 m) dalam waktu yang sangat singkat. Untuk selanjutnya Sekutu membangun
lapangan terbang permanen. Bahan dasar pembuatan landasan pacu terbuat dari
batu karang yang dikeraskan dengan minyak hitam, dengan panjang 2.700 m, lebar 40 m , jumlah
terdiri dari 7 landasan pacu. Lapangan terbang ini terletak di Desa Pitu,
sehingga terkenal dengan nama Pitu Strip. Sedikitnya Sekutu menempatkan 3.000
pesawat tempur, pesawat angkut, dan pengebom. Pasukan yang ditempatkan di
Morotai terdiri dari 63 batalyon tempur.
Taktik yang digunakan Jenderal MacArthur dalam
menyerang Jepang di Philipina adalah ”taktik lompat katak”. Taktik ini diilhami
oleh sebuah dongeng kuno Klein Duimje, yang menceritakan seorang anak
kecil mencuri sepatu lars raksasa, dengan sepatu tersebut si anak kecil dapat
melompat sejauh tujuh mil (zevenmijls laarzen). Akal tersebut digunakan
Jenderal MacArthur untuk menyerang Jepang, namun bukan tujuh mil sekali lompat,
bahkan sampai ratusan mil jauhnya. Setelah menguasai Kepulauan Admiralty di
Pasifik bulan April 1944, melompat ke Holandia (Jayapura) yang jaraknya 500 mil. Pulau Morotai sebelumnya telah
dikuasai Jepang, bahkan sudah sempat dibangun lapangan terbang guna pendaratan
tentara Jepang, tepatnya di kampung SP2 dan dusun MTQ, namun belum selesai
sudah diserang Sekutu. Tentara Jepang yang jumlahnya tidak seberapa banyak
akhirnya lari ke hutan – hutan untuk menyelamatkan diri. Pendaratan tentara
Sekutu di Morotai dilakukan oleh pasukan Infantri 31 dibawah komando Mayor
Jenderal John Person berjumlah 1000 orang dan diangkut dengan pasukan amfibi
Daniel Barbey VII. Pendaratan ini dilakukan di pantai selatan Morotai, dan
tugas utama pasukan ini adalah membangun lapangan terbang guna pendaratan
pesawat pembom B - 24. Pembangunan landasan pesawat terbang ini memakan waktu
sekitar 2 minggu, dan masih berupa landasan darurat. Benteng pertahanan yang kuat dibangun untuk
melindungi markas yang baru dari serangan musuh, yaitu tentara Jepang yang
masih berada di Morotai. Tetapi tentara Jepang bergerak cepat, ketika pasukan
Devisi 33 dalam perjalanan untuk menggantikan Infantri 31, diserang di pantai
Morotai. Pertempuran yang terjadi di Morotai tidak
seimbang, karena jumlah tentara Sekutu jauh lebih banyak dari tentara Jepang.
Banyak korban jatuh di pihak Jepang, sebagian ditawan dan bahkan ada yang lari
ke hutan sampai puluhan tahun, seperti Nakamura yang baru tahun 1973 di ketahui
keberadaannya di Morotai. Pasukan Jepang menggunakan area bukit 40 sebagai markasnya
dan merupakan ancaman yang serius terhadap instalasi Angkatan Laut dan Angkatan
Udara Sekutu. Tentara Jepang mengirim pasukan pengintai dan sering mengganggu
tentara Sekutu. Dari dokumen rahasia yang disita, diketahui bahwa tentara Jepang
berencana melarikan diri ke hutan dan akan menyerang tanjung Dehegila dan
lapangan terbang. Pada malam Natal, pasukan Jepang yang bermarkas di Halmahera menjatuhkan
bom di lapangan terbang Morotai, dan merusakkan beberapa pesawat pembom B-24.
Patroli Sekutu dapat mengejar dan menjatuhkan dua pesawat Jepang tersebut. Pada tanggal 26 Desember,
pasukan Sekutu bergerak menuju Pilowo dan dibagi menjadi dua bagian dengan
membawa amunisi dan perbekalan yang cukup. Perjalanan melewati medan hutan yang
berat, dan komunikasi radio terputus. Markas pasukan Jepang baru dapat ditemukan
pada tanggal 1 Januari 1945, dan diserang keesokan harinya. Pertempuran di Morotai berakhir pada tanggal
14 Januari 1945, dengan memakan korban 870 pasukan Jepang terbunuh, dan 10
ditawan, sedangkan pihak Sekutu meninggal 46 dan 104 luka-luka.
Jika kita melihat begitu
besar dan banyaknya armada tempur Sekutu yang ditempatkan di Morotai, maka
tidak mengherankan jika strategi penyerangan atas Filiphina, Korea, dilakukan
dari pangkalan militer ini. Pertempuran di Laut Filipina terjadi 19-20
Juni 1944. AS menampilkan pesawat baru lagi, Grumman F6F Hellcat yang
lebih hebat dibanding Wildcat. Dalam pertempuran hebat ini, seorang pilot
Jepang yang baru saja diluncurkan dari geladak Taiho, melihat sebuah
torpedo musuh meluncur menuju kapal induknya. Ia langsung menukikkan pesawatnya
ke torpedo itu. Namun pengorbanannya sia-sia, karena Taiho terkena
torpedo lain yang meledakkan kapal induk ini. Saat bersamaan, Shokaku
juga tenggelam. Dari 373 pesawat yang lepas landas dari kapal induk Jepang,
hanya 130 berhasil kembali. Apabila ditambah dengan pesawat Jepang yang
berpangkalan di darat, maka kehilangan Jepang mencapai 315 pesawat. Sementara
Amerika, hanya 23 buah.
Kondisi Jepang yang makin terpepet,
akhirnya melahirkan gagasan yang dalam sejarah peperangan udara dianggap unik,
yakni serangan Kamikaze, dewa angin. Konsep kamikaze dalam PD II
bukanlah bunuh diri fanatik, karena motivasinya lebih pada "satu orang,
satu kapal perang". Hal ini dianggap sebagai satu-satunya kesempatan untuk
mengatasi superioritas Amerika yang mulai dirasakan sejak akhir 1944. Serangan
kamikaze pertama dirasakan Amerika dalam pertempuran Teluk Leyte, yang
merupakan pertempuran laut terbesar dalam Perang Dunia II, dan sekaligus
membawa kekalahan telak bagi Jepang. Serangan itu terjadi ketika sebuah pesawat
Zero yang berpangkalan di darat, ditabrakkan ke geladak terbang kapal induk
ringan Amerika St. Lo dan menenggelamkannya.
Beberapa peninggalan Sekutu di Morotai antara lain:
a) Bandara Morotai
Peninggalan
Sekutu di Morotai adalah lapangan terbang. Bahan
dasar pembuatan landasan pacu terbuat dari batu karang yang dikeraskan dengan
minyak hitam, dengan panjang 2.700 m,
lebar 40 m , jumlah terdiri dari 7 landasan pacu. Lapangan terbang ini terletak
di Desa Pitu, sehingga terkenal dengan nama Pitu Strip. Sedikitnya Sekutu
menempatkan 3.000 pesawat tempur, pesawat angkut, dan pengebom. Pasukan yang
ditempatkan di Morotai terdiri dari 63 batalyon tempur. Selain itu sebelum
membangun lapangan terbang itu, Sekutu telah membangun landasan pacu darurat
yang dipasangi air strip (pelat besi berlubang ukuran 1,5 x 0,5 m) dalam waktu
yang sangat singkat. Air strip bekas landasan pacu tersebut kini banyak
dimanfaatkan penduduk untuk pagar. Sekutu pada saat Perang Dunia II itu
menempatkan 3.000 pesawat tempur, pesawat angkut, dan
pengebom. Pasukan yang ditempatkan di Morotai terdiri dari 63 batalyon tempur. Pesawat-pesawat Sekutu karena
rusak atau sesuatu hal ditinggalkan di Morotai. Pesawat-pesawat itu dulu masih
bisa dilihat banyak tetapi sekarang sudah tidak ada, puing-puing pesawat sudah
tidak ada, kalaupun ada hanya berupa baling-baling saja. Benda lain yang masih
ada adalah sisa-sisa bom dan meriam, yang terdapat di sekitar lokasi bandara
dan di perkampungan penduduk yang saat ini dimanfaatkan sebagai tugu desa. Terdapat pula air kaca yang
digunakan pasukan Sekutu untuk mandi dan keperluan air bersih lainnya. Air kaca
ini berupa ceruk gua yang di bawahnya terdapat sumber air. Lokasi kurang lebih
1 km setelah bandara, arah menuju ke Sangowo.
b) Pantai Dehegila.
Pantai
ini terdapat di Tanjung Dehegila, Morotai Selatan. Tempat ini merupakan tempat
pendaratan laut pasukan Sekutu dengan armada perangnya.
c) Pulau Sum-Sum
Pulau Sum-sum terletak di
perairan Morotai, kurang lebih 20 menit menggunakan transport speedboat dari
Daruba. Pulau ini adalah pulau dimana Jenderal MacArthur membangun markasnya
untuk mengkoordinasikan pasukannya guna menyerang Jepang. Saat ini peninggalan
Sekutu hanya berupa tanki minyak yang masih tersisa di Pantai dan dengan
keadaan yang sangat parah kerusakannya. Tanki ini tertimbun tanah, di bibir
pantai juga ada bekas-kekas tonggak besi. Adapun markas MacArthur sendiri, saat
ini tidak ada sisa-sisa peninggalannya.
Bagi
Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, Pulau Morotai memiliki arti sangat penting,
khususnya saat AS hendak melancarkan serangan balasan yang menentukan terhadap
seluruh kepentingan Jepang di Filipina dan Korea di era perang Pasifik
(1941-1945). Pulau Morotai dijadikan tempat konsolidasi ratusan ribu
pasukannya: darat, laut, dan udara. Dalam kesendirian dan kesunyian di bibir
Samudra Pasifik, tak satu pun warga Morotai menduga sebelumnya bahwa negerinya
telah masuk dalam skenario inti perang Pasifik. Mereka sedikit pun tidak
tahu bahwa mereka telah menjadi bagian dari dendam dan tekad I shall return-nya
Panglima Divisi VII AS Jenderal Douglas MacArthur. Dalam ukuran waktu,
kehadiran Divisi VII AS lengkap dengan para tentara sekutunya di Morotai
terbilang tidak lama, hanya beberapa bulan. Namun, kehadiran MacArthur yang
relatif singkat itu kini telah memberikan torehan sejarah yang sangat bernilai.
==================================
Foto-foto eksistensi Sekutu dan Jepang di Halmahera dan Morortai
Morotai Airstrip
Bandara Morotai
Jend. Doughlas McArthur
Piagam Penyerahan Diri Jepang kepada Sekutu
Pendaratan Sekutu di Morotai
Pendaratan Jend. McArthur di Morotai
Deretan Pesawat di Bandara Morotai
Penyerahan diri Jepang kepada Sekutu di Morotai
(Jend. Nakamura melarikan diri ke Hutan)
==================================dari berbagai sumber